Ibuku luar biasa, dia sangat berbeda denganku.
Setiap jumpa dan kemudian
berpisah dengannya ibuku selalu berkata,
“Maaf, ibu tidak bisa memberi
apa-apa kecuali doa.”
Ucapan itu terkadang menamparku. Ibuku yang sudah begitu banyak memberi
pengorbanan, perhatian dan rasa cinta yang tiada tara masih berkata
“maaf ibu tidak bisa memberi apa-apa”.
Sementara aku, hanya cium tangan,
memberi rupiah yang tak lebih dari 10 persen penghasilanku sudah merasa
menjadi anak yang berbakti.
Ibuku tak merasa banyak berbuat kepadaku padahal kebaikan kepadaku amat
sulit untuk dihitung. Sementara aku sudah merasa menjadi anak yang taat
dan hebat hanya dengan sekelumit kebaikanku.
Oh, betapa mulianya ibuku
dan betapa naifnya diriku…
Bila aku sakit, ibuku rela menempuh perjalanan ratusan kilometer dan
menyeberangi lautan hanya sekedar ingin menciumku.
Sementara bila ibuku
sakit, aku hanya mengangkat telepon untuk berkata, “Maaf, aku belum
bisa menemani ibu.”
Oh, betapa bedanya aku dengan ibuku. Ia segera meninggalkan semua
kesibukannya hanya untuk jumpa dengan anaknya yang sakit. Sementara aku
selalu beralasan sibuk untuk bisa menemaninya saat ia berbaring lemah
karena sakitnya.
Saat aku sekolah dan kuliah, ibuku rela datang meminjam hutang walau
mungkin mendapat cacian dari yang punya uang.
Tetapi kini aku
tega-teganya berkata, “Maaf ibu, belum bisa banyak membantu, aku masih
harus mengembangkan bisnis dan keluargaku.”
Saat seperti itu ibuku hanya
berkata, “Ibu bahagia bila melihat kamu dan keluargamu bahagia. Ibu tak
minta apa-apa darimu kecuali doa usai sholatmu.”
Oh ibu, aku semakin
malu…
Sebelum tidur aku menangis, betapa baktiku kepada ibuku belum seberapa.
Dalam pelukan istriku, kukirimkan doa untuk ibuku, “Ya Allah jaga ibuku.
Muliakan ibuku. Beri ia tempat terhormat di dunia dan berikan ia
mahkota terindah di surga-Mu kelak.”
Ah, betapa hinanya aku, karena
hanya bisa menangis dan mengirimkan doa di usiaku yang semakin tua…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar